Pada akhirnya segala sesuatu yang
kita genggam harus kita lepaskan. Entah untuk kepergian yang sebentar atau
lama. Aku tidak akan berbicara bagaimana seandainya kita tidak pernah bertemu.
Bukan bagaiamana jika Tuhan tidak mempertemukan kita. Bukan. Bukan itu.
Terlebih lagi adalah aku bersyukur atas rasa yang Tuhan titipkan untuk diriku.
Bagaimana tidak, jika Tuhan tidak titipkan rasa ini, mungkin saja aku tidak
akan seperti ini. Tidak akan mungkin berprasangka tentang bagaimana Tuhan telah jatuh cinta kepadaku. Bukankah
demikian?
Aku tahu, aku memang bukan
perempuan yang sempurna. Perempuan yang masih cacat akhlaknya, yang masih cacat
juga tutur kata dan lakunya. Perempuan yang mendamba seorang pangeran untuk
datang ke dalam kehidupanya, sedang dia tidak pernah belajar ntuk menjadi
seorang putri yang pantas di jemput.
Aku bersyukur sekali ketika Tuhan
berkata. “Wahai Hambaku, bukankah aku telah banyak memberitahumu tentang ini ?
tentang sebuah arti pengharapan? Bukankah pengharapan terbaik itu ada ketika kamu
hanya berharap kepadaKu saja? Mengapa engkau lalai? Mengapa kaau menduakan aku?
Apakah segala bentuk cinta dan kasih sayangku belum cukup untukmu? Apakah
engkau masih memilih cinta lain yang bahkan tidak ada apa apanya dibandingkan
segala cintaku padamu? Berpikirlah. Berpikirlah duhai hambaku. Aku rindu. Aku
rindu engkau menyebutKu.”
“Duhai Rabbi, maafkan daku yang
sungguh tidak bisa memilih. Maafkan daku yang bhuta akan perasaan mahlukmu.
Maafkan daku yang masih saja menyimpan rasa untuk hambamu. Maafkan aku ketika
aku masih menyebutkan nama dari salah satu hambamu.
Duhai Rabbi, aku rapuh tanpamu.
Aku rapuh tanpa ayat-ayatmu. Aku rindu pelukmu, aku ridu Duhai Rabbku :’(.
Namun, apakah benar aku telah jatuh hati kepadanya? Apakah aku telah jatuh
hati?”
Banyak hal yang ingin aku
ceritakan. Bukan tentang apa apa. Aku tahu bahwa segala pilihan itu beresiko.
Aku tahu bahwa segala pilihan itu akan berujung pada rasa sakit.”
Ketika segala sesuatu terasa indah, apakah ini artinya bahwa Tuhan tidak mencintaiku lagi? dengan membiarkan aku menempatkan rasa kepada manusia yang semestinya belum pantas aku miliki. Tidak mungkin jika harus melakukan kesalah yang sama untuk kedua dan kesekian kalinya. baiknya memang rasa itu tidak pernah salah. Aku yang harus mampu menjaganya. Supaya rasa itu tidak lebih besar dari rasaku padaNya.
0 komentar:
Posting Komentar